Welcome visitors to my blog 'Dakwah Bil Qolam'Warnai Duniamu Untuk Akhiratmu' By Danang Muslim

Senin, 19 Mei 2014

Resume Buku Mencetak Kader ( Profil Ustad Abdullah Said)

Resume buku “Mencetak Kader” ini dapat menambah pengetahuan secara pribadi bagi penulis dan wawasan luas tentang organisasi hidayatullah secara luas.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan baik dalam penulisannya maupun sumbernya. kritikan dan saran yang membangun demi kepentingan bersama.
Buku sejarah berdirinya Hidayatullah

1    Biografi Ustadz Abdullah Sa’id
Ø  Kelahiran sampai masa muda
Nama kecil Ustadz Abdullah Said adalah Muhsin Kahar dilahirkan tepat pada hari proklamasi kemerdekaan R.I. Jum’at, 17 Agustus 1945 di sebuah desa bernama Lamatti Rilau, salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Letaknya berada pada ketinggian sehingga dari desa ini dapat terlihat jelas hamparan pulau-pulau yang ada di perairan Teluk Bone.. Terutama Pulau-pulau Sembilan yang terdiri dari Pulau Kambuno, Pulau Liang-Liang, Pulau Burung Lohe, Pulau Batang Lampe, Pulau Kodingareng, Pulau Katindoang, Pulau Kanalo Satu, Pulau Kanalo Dua dan Pulau Larearea. Pemandangan ke arah hamparan pulau-pulau membuat perasaan agak terbuka atas keterpencilannya kampung ini.
Pada saat kelahirannya, ayahnya, Kyai Abdul Kahar Syuaib menjabat sebagai Imam di Kampung Lamatti yang lebih dikenal dengan sebutan Kampung Panreng (dalam bahasa setempat panreng berarti kuburan). Karena ayahnya seorang ulama yang kharismatik di tempat itu, sehingga keluarganya mendapat tempat tersendiri dimata masyarakat.Ayahnya lebih populer dikalangan masyarakat dengan sebutan Puang Imang,[1] karena cukup lama menjadi imam di kampung itu.Ayahnya tiga kali nikah tapi tidak dengan memadu, menghasilkan 12 orang anak.Ibu Muhsin Kahar bernama Aisyah, lebih dikenal dengan panggilan Puang Ica.Merupakan istri terakhir dinikahi setelah istri pertama dan kedua meninggal dunia. Puang Ica melahirkan empat orang anak semuanya laki-laki: Junaid Kahar (Puang Juna), Lukmanul Hakim Kahar (Puang Luke’)[2]Ketika masih dalam kandungan sempat menjadi bahan perbincangan dikalangan keluarga. Karena usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun namun sang anak belum juga lahir. Hanya ayahnya yang selalu mengingatkan sang ibu agar tetap bersabar menunggu kelahirannya sampai kapanpun yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Akhirnya bayi yang tadinya mencurigakan itu lahir juga dalam keadaan normal dan sehat layaknya bayi-bayi pada umumnya di sebuah rumah di Kampung Panreng. Untuk pendidikan dasarnya dia sangat tertolong dengan adanya Sekolah Dasar yang waktu itu bernama Sekolah Rakyat didirikan di kampungnya. Di sekolah itulah dia belajar. Namun hanya sampai kelas III, dari tahun 1952 hingga 1954 karena terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya yang tercinta itu mengikuti sang ayah yang pindah ke Makassar.
Ketika itu kondisi keamanan di Sinjai semakin mencekam. Apalagi dengan terbunuhnya seorang anggota polisi yang ditengarai pembunuhnya adalah Zubair Kahar, komandan pemberontak yang saudara kandung Muhsin Kahar.
Ayahnya setiap saat mendapat panggilan untuk diinterogasi sehubungan dengan pembunuhan yang dihubungkan dengan anak kandungnya itu. Itu yang membuat sang ayah merasa terusik sehingga tidak betah lagi tinggal di kampung, memilih hijrah ke Makassar untuk mencari ketenangan.
Ø  Pindah ke Makassar
Ustad Abdullah Said hatinya terasa berat untuk meninggalkan kampung halaman yang telah membesarkannya itu. Betapapun bersahajanya kampung itu namun baginya banyak kenangan indah yang tidak mudah dilupakan.Letak desanya yang ada pada ketinggian dengan pepohonan yang rimbun selalu mengalirkan kesejukan.
Kini dia harus berangkat meninggalkan kampung yang telah memberinya warna hidup baik fisik maupun jiwa, menuju kota Makassar, 227 Km dari kampungnya. Sebuah kota besar yang sudah lama dikenal namanya namun belum pernah hidup didalamnya. Informasi yang sering didengarnya bahwa kehidupan perkotaan adalah cenderung kejam. Tapi dibalik itu sering pula menangkap cerita bahwa di kota besar juga kita dapat menjadi tokoh besar sesuai yang ia harapkan.
Memprihatinkan, memang, kehidupan yang dijalaninya pada waktu bermula tiba di Ibu Kota Propinsi Sulawesi[5]. Apa boleh buat terpaksa harus dijalaninya. Maklum orang tua tidak punya pekerjaan yang dapat mendatangkan uang. Tetapi karena orang tuanya seorang ulama yang kharismatik sehingga anggota masyarakat di lingkungan yang dia tempati yang kebanyakan berasal dari kampungnya, Sinjai, sehingga sang ayah ditempatkan yang proposional.
Di Kampung Malimongan Baru (Jalan Pong Tiku dan sekitarnya sekarang) dipercayakan mengimami sebuah mesjid yang dikenal dengan nama Mesjid Lailatul Qadri sambil memberi tuntunan agama di mesjid itu. Lewat kegiatan ini keperluan hidup agak teratasi namun sangat jauh dari cukup. Untung sang Ibu sangat giat mencari nafkah untuk membiayai anak-anak yang sekolah. Baru anak yang tertua, Djunaid Kahar yang telah berumah tangga.Tapi belum sanggup juga membantu.Apalagi di rumah yang ditempati itu ternyata banyak juga keluarga yang nebeng.Keluarga dari kampung yang belum mempunyai pekerjaan tetap dan belum memiliki rumah tempat tinggal.Rumah ini dijadikan tempat transit sambil mencari lowongan kerja.
Pemandangan baru yang dia saksikan yang sangat tidak mengenakkan perasaannya di Makassar adalah seringnya ada orang yang mabuk-mabukan dengan teriakan-teriakan yang tidak sedap didengar telinga. Mereka berkumpul di satu tempat yang disebut lontang[6]. Ditempat itu mereka minum ballo[3] beramai-ramai sambil makan baluta[8], atau ikan, ayam atau bebek yang dipanggang. Sering juga terjadi perkelahian antara kelompok anak muda yang hanya disebabkan karena persoalan sepele, karena ketersinggungan perasaan atau karena persoalan perempuan, dan lain-lain.
Ø  Bintang Kelas
Setelah pindah ke Makassar, Muhsin Kahar meneruskan sekolahnya di kota itu. Ia diterima duduk di Kelas IV Sekolah Rakyat No 30. Dijalaninya hingga tahun 1958.Di SR ini dia selalu menjadi bintang kelas karena menguasai seluruh mata pelajaran termasuk pelajaran menggambar. Padahal semestinya murid-murid yang berada di kota lebih unggul dibanding murid-murid dari pedalaman karena pelajarannya lebih teratur dan lebih tinggi materinya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Murid-murid yang lahir dan besar di kota dikalahkannya semua. Dia pernah mengangkat nama sekolahnya karena ketika diadakan pertandingan menggambar antar sekolah dasar se Kota Besar Makassar (KBM), hasil coretannya dinilai terbaik. Ketika mengikuti ujian akhir Sekolah Rakyat dia mendapatkan nilai tertinggi.Sehingga sangat memungkinkan memilih sekolah favorit.Dia tidak memilih sekolah umum tapi mengincer sekolah agama yakni Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN 6 tahun).Dia memilih sekolah ini untuk melanjutkan pendidikannya karena disamping mempelajari agama juga termasuk sekolah yang sangat didambakan waktu itu.Karena tamatan sekolah ini tidak perlu lagi melamar kerja, langsung ditempatkan.
Di sekolah ini dia juga selalu menjadi bintang kelas dan terkenal sebagai siswa yang pandai pidato.Disamping itu dia juga selalu menjadi ketua kelas hingga kelas VI.Dalam pertemuan-pertemuan selalu dia dipercayakan memimpin.Memang sejak duduk di bangku PGAN 6 tahun itu dia sudah dikenal sebagai siswa yang berpengetahuan luas.Mungkin karena kerajinannnya membaca.Tunjangan ID-nya setiap bulan memang hampir tidak ada yang tersisa, semua dibelikan buku-buku.Tidak seperti teman-temannya yang menjadi prioritas adalah pakaian untuk penampilan.
Muhsin Kahar sangat kurang perhatiannya kepada pakaian.Sehingga sering dia dengan tidak malu-malu menggunakan sarung ke sekolah kalau celananya sedang dicuci dan belum sempat kering.Dia juga akrab dengan kopiah hitam di kepalanya. Teman-temannya sering ketawa sinis melihatnya, karena tidak lazim, tapi dia cuek saja termasuk terhadap cewek-cewek manis. Karena tidak ada juga teman wanitanya yang akrab.Dia tidak pusing dengan kesinisan teman-temannya.Soalnya gurunya diam-diam saja menyaksikan keanehan itu. Mungkin karena dia termasuk siswa yang sangat berprestasi dari segi pelajaran dan sektor-sektor lain. Lagi pula peraturan tentang pakaian disekolah tidak seketat sekarang.
Hal lain yang menyenangkan dia belajar di sekolah ini karena dapat berkenalan dengan siswa-siswa yang berasal dari beberapa daerah seperti Ternate, Manado, Gorontalo, Sangir Talaud, Sulawesi Tenggara dan siswa-siswa yang berasal dari Sulawesi Selatan.
Ø  Meninggalkan Bangku Kuliah
Setelah lulus dari sekolah lanjutan PGA Neg. 6 tahun juga dengan nilai tinggi. Sehingga mendapat tugas belajar[4] ke IAIN[5](Institut Agama Islam Negeri) Alauddin Makassar. Hanya satu tahun mengikuti kuliah lalu berhenti. Dia merasa tidak ada tambahan ilmu yang berarti yang didapat selama kuliah.Semua materi kuliah yang diberikan dosennya telah dibacanya. Akhirnya dia menarik kesimpulan bahwa kalau duduk beberapa tahun di bangku kuliah cukup menyita banyak waktu dan energi, sementara hasilnya jauh tidak seimbang dengan apa yang telah dikorbankan. Kalau sekedar untuk mendapatkan predikat sarjana bukan itu yang dia perlukan.Walaupun pada waktu itu titel sarjana sangat mahal, bisa membuat orang besar kepala.Menurut dia lebih tepat kalau aktif di organisasi, giat berda’wah dan gencar membaca.Itulah yang menjadi alasannya, sehingga meninggalkan bangku kuliah.
Ketika dia telah menjadi pimpinan pesantren yang telah memiliki cabang di seluruh Indonesia, sering dia mengungkapkan bahwa, “Seandainya saya dulu meneruskan kuliah sampai sarjana, paling banter hanya menjadi kepala kantor Departemen Agama di Sulawesi Selatan, iutpun kalau memenangkan pertarungan, bergelut dengan urusan yang bertentangan dengan hati nurani, sebagaimana yang sering diungkapkan rekan-rekan bekas teman sekolahnya yang menduduki jabatan itu. Terusik juga perasaannya kalau teman-teman sekuliahnya menganggap dia sombong tidak mau mengikuti kuliah karena telah mengetahui apa yang dikuliahkan oleh dosen-dosen. Tapi karena dia memiliki pandangan sendiri terhadap dunia perkuliahan yang banyak sekali menyia-nyiakan waktu berbincang ngalor ngidul antara teman-teman mahasiswa dan mahasiswi yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan, bahkan terkadang mengarah kepada hal-hal yang sebenarnya sangat tidak wajar dibicarakan. Apalagi sebagai mahasiswa-mahasiswi yang menyandang predikat mahasiswa-mahasiswi Islam.Sehingga dia berfkir untuk amannya dia memilih berhenti dari kegiatan kuliah dari pada setiap hari menderita batin.
Dia merasakan apa yang diperolehnya selama ini lewat organisasi, membaca buku-buku, mengikuti ceramah-ceramah di mesjid dan belajar langsung kepada ulama-ulama serta berkutat dalam dunia da’wah, lebih banyak dari apa yang diperoleh lewat bangku kuliah. Apalagi kalau dosennya hanya menggunakan gaya diktator alias membuat dan menjual diktat.
Ø  Organisasi Pelajar
Kekeranjingannya berorganisasi tidak tanggung-tanggung.Dia tidak ingin hanya namanya yang tercantum dalam sturktur organisasi tanpa terjun dan berkutat didalamnya.Pada setiap organisasi yang dimasukinya dia selalu memegang jabatan yang dia minati yakni Bahagian Da’wah dan Pengkaderan, sehingga mendorongnya untuk sibuk.Dalam setiap pertemuan selalu saja ada ide dan gagasan brilian yang dilontarkan. Sehingga manakala ada pertemuan dan dirinya tidak hadir, peserta pertemuan pasti mencarinya karena pertemuan terasa hambar tanpa dia.Ketika duduk dibangku PGA Negeri 6 tahun Makassar, dia memilih organsasi pelajar PII (Pelajar Islam Indonesia ) sebagai wadah tempat berkiprah. Dia duduk sebagai pengurus ranting disekolahnya dan seterusnya ke level wilayah. Organisasi yang dimasukinya ini dikenal sebagai organisasi pelajar paling militan dan mati-matian menentang Partai Komunis Indonesia (PKI).Padahal PKI waktu itu menguasai pemerintahan.Sehingga organisasinya itu selalu menjadi sasaran tembak partai yang tengah merajut hegemoni politik untuk berkuasa itu.
Ini yang membuat dia semakin merasa mantap berkiprah di organisasi ini. Suatu waktu diawal tahun 1965 ketika seluruh pengurus PII se-KBM (Kota Besar Makassar) mengadakan training bertempat di Perguruan Islam Datumuseng[12] penulis dan Ustadz Muhsin Kahar termasuk peserta training itu. Ketika salah satu tokoh PII Andi Baso Amir (adik kandung Jenderal M. Jusuf Amir) memberi ceramah tiba-tiba tempat training dihujani batu. Yang melakukan tidak lain adalah anggota-anggota Pemuda Rakyat (organisasi pemudanya PKI) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia –organisasi mahasiswa milik PKI).Andi Baso Amier yang dikenal sebagai sastrawan dan pembicara vokal berkata, “Biarkan suara itu berbunyi dengan suaranya sendiri, kita tak usah gentar”. Itu menunjukkan betapa seru perseteruan PII dengan PKI .Anggota PII yang bertugas sebagai keamanan sudah siap-siaga menghadapi pengganggu itu.Kejadian yang serupa dengan ini sering sekali terjadi hampir setiap ada pertemuan yang diadakan PII dan HMI.Sering juga ada coretan di tembok-tembok yang dibuat oleh mereka sendiri yang berbunyi; Bubarkan Pemuda Rakyat dan CGMI.Apalagi saat menjelang terjadinya Gerakan Tiga Puluh September (G30S)[6]
.
Keterlibatannya di organisasi ini dapat dirasakan hikmahnya karena telah membentuk jiwanya menjadi militan dan cekatan berorganisasi. Juga dapat berkenalan dekat tokoh-tokoh penggerak generasi muda di daerahnya seperti Zoubair Bakry, Yamin Amna, Tanri Abeng, Djamaluddin Latief, Aziz Aty, dll. Dan tokoh-tokoh berlevel nasional seperti Hussein Umar Sastranegara (PII Pusat), Utomo Dananjaya, Husni Thamrin, Ahmad Djuwaeni, dll.
Ø  Menambah Ilmu di Jawa
Usai pendidikan muballigh di Makassar Muhsin Kahar berangkat ke Surabaya dengan mengajaka Usman Palese untuk seterusnya ingin mengikuti pendidikan di Pondok Modern Gontor.Memang keduanya sempat mendaftar dan ikut belajar tapi hanya seminggu lalu pindah ke PERSIS Bangil.Di Pesantren Bangil juga hanya 3 bulan. Di Pesantren yang dipimpin oleh Ustadz Abdul Qadir Hassan ini, tidak banyak belajar karena Ustadz Mansyur Hassan ( adik kandung Ustadz Abdul Qadir Hassan, putera Ustadz Ahmad Hassan), senang mengajak diskusi bahkan selalu ditugaskan membawakan khutbah Jum’at dan ceramah-ceramah di Mesjid Persis.
Selama di Pesantren Bangil Ustadz Muhsin Kahar banyak di bantu oleh sepupunya di Surabaya, Jaksa Arsyad Hasan, SH (mantan kepala Kejaksaan Negeri di beberapa kota Jawa Timur, seperti Nganjuk, Bangkalan, dll, terakhir diangkat menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di NTB tetapi minta pensiun dini). Dia sangat senang jika berada di tempat saudaranya ini karena Puang Aresya, demikian panggilan akrabnya dikalangan keluarga, senang sekali berdiskusi masalah hukum dan politik dan juga hal-hal yang menyentuh agama. Disamping itu kemanakan-kemanakannya di tempat itu, anak Pak Arsyad: Makmun, Bustamin, Sahrah, Nasrah, Halda, Hurlina semuanya selalu bermanja-manja kepadanya.Akhirnya pesantren yang banyak menekuni masalah fikhi ini ditinggalkan dan menuju Jakarta.Di Jakarta bertempat tinggal di Kali Baru, Tanjung Periok. Ditempat yang banyak dihuni oleh orang Bugis ini bersama-sama Ustadz As'ad El-Hafidy mengadakan kursus muballigh melibatkan tokoh-tokoh Islam yang ada di Kali Baru seperti Pak Ramli Ya’kub (paman Ustadz Muhsin Kahar), Nurdin Djafar (sepupu) dan Achmad Dahlan Abdullah (kemanakan) untuk menjadi pengurus. Banyak anak-anak remaja ataupun yang sudah tergolong dewasa jama’ah Mesjid Nurul Jihad Kali Baru mengikuti kursus ini. Diantaranya Marhumah Hasyim (kemanakan), Nurhilaliyah Nurdin (kemanakan), dll. Cukup berhasil kursus muballigh itu menelorkan muballigh dan muballighat muda.
Ustadz Muhsin Kahar kembali lagi ke Makassar, kota Anging Mammiri yang selalu dirindukan. Kembali menggabung dengan kegiatan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan di Kompleks Pendidikan Muhammadiyah, samping Mesjid Raya Makassar. Mulailah diprogram pengkaderan yang lebih intens untuk melibatkan sejumlah anak-anak binaan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan dalam upaya pemberantasan kemaksiatan yang tengah marak di kota Makassar dan sekitaranya. Yang paling mencolok daya rusaknya waktu itu adalah penjudian dalam bentuk lotere.
Pengkaderan yang dimaksudkan ini diselenggarakan di Maros (30 Km sebelah utara Makassar) dengan melibatkan puluhan anak-anak muda.Walaupun sangat singkat waktunya, hanya seminggu (1-8 Agustus 1969) tapi frekuensi penggemblengannya dilakukan siang dan malam.Instrukturnya disamping Ustadz Muhsin Kahar sendiri juga Kyai Ahmad Marzuki Hasan, Drs.H.Mahyuddin Thaha[7]. Dalam penyelenggaraan kursus ini sulit dilupakan jasa-jasa dari orang-orang seperti Bapak Usman Ali (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Maros), H. Abdul Latif Daeng Mangngatta (pedagang kain dan Pengurus Muhammdiyah), Abdurrasyid Tata (Kepala Desa Aliritengngae, Maros) Burhanuddin Hamid (Panitera Pengadilan Negeri Maros), Drs. Mustafa Rauf (Pegawai Kantor Gubernur Sulsel), Zaenal Abidin (pemuda Muhammadiyah), dan lain-lain. Peserta diarahkan untuk dapat melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan nahyi munkar sebagaimana mestinya.Ujung-ujungnya adalah membakar semangat anak-anak muda yang tengah dilanda puber aqidah itu untuk memberantas penjudian yang tengah marak di Makassar dan sekitarnya.Dalam penutupan acara itu peserta menyanyikan lagu Panggilan Jihad, yang lagi tenar waktu itu.
Ø  Mengganyang Judi
Penjudian dalam bentuk lotre yang dinamakan lotto, singkatan dari lotre totalisator ini, sangat besar daya rusaknya kepada masyarakat.“Kalau penjudian gaya baru ini dibiarkan berlanjut, masyarakat akan mengalami kehancuran yang sulit dibayangkan. Karena disamping hartanya akan habis ditelan judi, juga moralnya mengalami degradasi yang luar biasa. Mengapa tidak? Berbarengan hadirnya judi dalam bentuk lotre ini, muncul pula peramal-peramal dadakan diseluruh sudut-sudut kota yang untaian-untaian kalimatnya dikutip dari mimpi semalam kemudian dituang dalam bentuk tulisan lalu penjudi memberi tafsir terhadap mimpi itu.
Hasil tafsir itulah dijadikan pegangan untuk memenangkan undiannya setiap malam dengan terlebih dahulu menebak salah satu angka atau lebih dari 49 angka.Tokoh peramal waktu itu seorang haji bernama Haji Sulaimana.Ini menyeret masyarakat kecil yang ingin segera merubah nasib dengan instan ke lembah kesesatan”.Demikian sering diungkapkan Ustadz Muhsin Kahar dan muballigh-muballigh di Makassar pada umumnya kala itu. Dalam salah satu khutbahnya yang disampaikan pada hari Jum’at, 14 Februari 1969 di mesjid Nurul Jama’ah, Jalan Lamuru, Bontoala-Makassar menyatakan, “Negara kita sekarang ini sudah sangat rusak. Karena masyarakat tidak lagi memperhatikan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar. Padahal ini juga kewajiban mutlak, sama halnya dengan kewajiban shalat, kewajiban puasa Ramadhan, kewajiban zakat. Akibatnya, segala bentuk kemaksiatan dan pelanggaran-pelanggaran agama berjalan mulus.Untuk itu masyarakat perlu digembleng terus menerus untuk berani menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.Karena orang yang terlibat pelanggaran, seperti menjudi, itu berdosa karena perbuatannya.Tapi kita juga berdosa kerena turut menyaksikan perbuatan itu lalu tidak menegur atau mencegahnya.
Akhirnya tibalah pada titik puncak panasnya hati pemuda-pemuda Islam di Makassar, seperti panasnya kota Anging Mammiri waktu itu, ingin menghanguskan segala bentuk kemaksiatan, terutama judi. Mereka tidak lagi dibayangi rasa takut terhadap resiko, walaupun penjudian dalam bentuk lotre ini dikordinasi oleh pemerintah kota dibawah kekuasaan walikotanya yang cukup populer dan gigih membangun Kota Makassar dan melakukan peruabahan-perubahan, Muhammad DaEng Patompo. Otomatis aparat keamanan berada di belakangnya. Pertemuan perencanaan pengganyangan ini diadakan di lantai tiga menara Ta’mirul Masajid, mesjid milik Mihammadiyah Rabu (malam), 27 Agustus 1969, diarahkan langsung oleh Ustadz Muhsin Kahar dan H.Mahyuddin Thaha Dibuka dengan pembacaan Al-Qur’an oleh Ustadz M.Arsyad Palantei.
Terjadilah peristiwa pengganyangan judi itu dengan modal kader-kader yang selesai digembleng di Maros, kemudian melibatkan pemuda-pemuda Muhammadiyah di Makassar. Pelaksanaannya jatuh pada Kamis (malam), 28 Agustus 1969. Sebelumnya pada Kamis pagi ditugaskan Ustadz Muhsin Kahar seorang kader mengantar secarik kertas untuk menyampaikan kepada beberapa pimpinan Pemuda Muhammadiyah tentang kepastian waktu pelaksanaan pengganyangan itu.
Peristiwa itu bertepatan dengan berlangsungnya Muktamar PII (Pelajar Islam Indonesia) yang ke- 12 di Makassar.Maksudnya Ustadz Muhsin Kahar ingin melibatkan peserta Muktamar PII namun tidak berhasil karena ketika Muhammad Asad Kahar (adik kandung Muhsin Kahar) mencoba mengkordinir anak buahnya yakni PII dari Labbakang- Pangkep, M.Zoubair Bakry (Ketua Pimpinan Wilayah PII Sulsel) langsung mencegatnya. M.Zoubair Bakry khawatir kalau-kalau nantinya tokoh-tokoh yang tengah hadir di Makassar waktu itu yang notabene adalah mantan orang-orang partai Masyumi yang telah dikubur pemerintah seperti Prof. K.H. Abdul Ghaffar Ismail ( muballigh kondang dan ulama besar, yang terkenal dengan Pengajian Malam Selasa-nya yang sudah berlangsung selama setengah abad di Pekalongan), Prawoto Mangkusasmito (mantan Ketua Masyumi dan mantan Wakil Perdana Menteri pada kabinet Wilopo 1952-1953), EZ. Muttaqin (Ketua GPII-Gerakan Pemuda Islam Indonesia) – dikait-kaitkan dengan peristiwa pengganyangan itu.

Kendatipun tidak terlaksana sebagaimana yang diinginkan; karena tidak semua pemuda yang mendapat instruksi melaksanakan pengganyangan itu.Ada yang dicegat karena sempat bocor kepada orang-orang tua yang tentu saja banyak perhitungan.Hanya sebagian kecil yang tetap meneruskan niatnya, yakni penghuni asrama Muhammadiyah Jalan Bandang dan anak-anak disekitar Jalan Andalas, Jalan Bandang, Jalan Diponegoro.Namun hasilnya cukup memadai.Berhasil mengobrak abrik tempat penjualan kupon dan mencederai sebagian penjualnya yang terdiri dari orang-orang Cina.Tapi yang lebih penting Lotto yang sangat merusak terutama masyarakat kecil diberhentikan oleh pemerintah.Seusai pengganyangan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulselra, K.H.Muhammad Aqib dipanggil menghadap oleh Penanggung Jawab Keamanan di Kota Besar Makassar untuk mempertanggung jawabkan perbuatan itu yang menurut dugaan digerakkan oleh Muhammadiyah karena terbukti banyak sekali anak-anak Muhammadiyah yang terlibat. Pak Kyai membantah dengan alasan, “Ini bukan gerakan Muhammadiyah, kalau Muhammadiyah yang begerak tidak begini bentuknya. Muhammadiyah adalah organisasi massa yang besar, banyak sekali anggotanya. Makassar ini akan tenggelam kalau Muhammadiyah yang bergerak. Yang benar adalah gerakan ini dilakukan oleh anak-anak muda yang sangat jengkel melihat maraknya perjudian.Hanya mungkin banyak anak-anak Muhammadiyah yang terlibat didalamnya.Makanya sebelum Muhammadiyah bergerak, hentikanlah cepat perjudian ini”.
Peristiwa yang menghebohkan Sulsel itu membuat ruang tahanan Kodim 1408 Makassar penuh sesak.Banyak sekali anggota Pemuda Muhammadiyah yang ditahan. Bahkan beberapa tokoh seperti Kyai Ustadz Ahmad Marzuki Hasan, K.H.Fathul Mu’in Daeng Maggading , Ustadz M.Arief Marzuki dan ayahanda Ustadz Muhsin Kahar sendiri, Kyai Abdul Kahar.Bahkan seterusnya ada yang dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dan dipengadilankan seperti: M.Thahir Fatwa (guru SD Muhammadiyah asal Bulukumba), M.Munzir Rowa (guru SD Muhammadiyah asal Bone), M.Jalil Thahir (aktivis Pemuda Muhammadiyah asal Sidrap), Abdurrahman (pemuda Muhammadiyah, asal Sinjai).
Informasi dari penjara yang disampaikan Ustadz Abdul Jalil Thahir, Muhsin Kahar harus meneruskan perjuangan, jangan sampai menyerahkan diri. Kami di penjara insya Allah akan bersabar bagaimanpun siksaan yang kami rasakan. Kami anggap sebagai lanjutan pengkaderan.
Demikianlah resume buku mencetak kader ini kami susun, semoga bermanfaat bagi kita    semua khususnya penulis sendiri. Resume buku “Mencetak Kader” ini sebagai menambah pengetahuan secara pribadi bagi penulis dan wawasan luas tentang organisasi hidayatullah secara luas.
Daftar pustaka
Manshur Salbu, Mencetak Kader, Perjalanan Hidup Ustadz Abdullah Said Pendiri Hidayatullah, Surabaya: Hidayatullah Publishing, 2009

[1]Panggilan kehormatan kepada imam di kampung
[2]Menurut  kebiasaan orang bugis, nama-nam selalu disingkat
[3]Bahasa Mks yang berarti arak. Kalau arak yang dibuat dari beras yang difermentasi bernama ballo ase. Yang diambil dari nira aren bernama ballo inru. Dan yang diambil dari nira nipah disebut ballo nipa
[4]Bea siswa menurut istilah sekarang.
[5]Universitas Islam Negeri (UIN) sekarang.
[6]Gerakan yang dilakukan partai komyunis indonesia pada 30 september 1965 membunuh secara biadab Jenderal Achmad Yani.dkk kemudian memasukkan kedalam lubang sempit di daerah yang disebut Lubang Buaya.
[7]Mantan Ketua Biro Kader PB.PII Pusat, priode Ahmad Djuwaini.